Selasa, 10 Juni 2014

DM Tipe II



BAB 1
 PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang Masalah
. Diabetes sudah dikenal sejak berabad-abad sebelum Masehi. Pada Papyrus Ebers di Mesir kurang lebih 1500 SM, digambarkan adanya penyakit dengan tanda-tanda banyak kencing. Kemudian Celsus atau Paracelsus ± 30 th SM juga menemukan penyakit itu, tapi baru 200 tahun kemudian, Aretaeus menyebutnnya sebagai penyakit aneh dan menamai penyakit itu diabetes dari kata diabere yang berarti siphon atau tabung untuk mengalirkan cairan dari suatu tempat ketempat lain. Dia menggambarkan penyakit itu sebagai melelehnya daging dan tungkai kedalam urin. Cendekiawan Cina dan India pada abad 3 sampai 6 Masehi juga menemukan penyakit ini, malah mereka mengatakan bahwa urine pasien rasanya manis. Tahun 1674 Willis melukiskan urin tadi seperti digelimangi madu dan gula, maka semenjak itu nama penyakit tersebut ditamba kata mellitus yang berarti madu.(FKUI, 2011)
Saat ini diabetes mellitus merupakan penyakit degenerative yang diperkirakan akan terus meningkat prevalensinya. Pada tahun 2003 prevalensi diabetes didunia diperkirakan 194 juta, jumlah ini kemungkinan mencapai 333 juta ditahun 2025. Data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2007 menyebutkan prevalensi DM secara nasional mencapai 5,7%. .(FKUI, 2011)
Melihat tendensi kenaikan prevalensi diabetes secara global yang disebabkan karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan DM Tipe 2 di Indonesia akan meningkat dengan drastis, yang disebabkan oleh beberapa faktor :
a.          Faktor keturunan (genetik)
b.         Faktor kegemukan/obesitas
1)         Perubahan gaya hidup dari tradisional ke gaya hidup barat
2)         Makan berlebihan
3)         Hidup santai, kurang gerak badan
c.          Faktor Demografi
1)         Jumlah penduduk meningkat
2)         Urbanisasi
3)         Penduduk berumur diatas 40 tahun meningkat
d.         Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi.(FKUI, 2011)
Jumlah penyandang diabetes terutama diabetes Tipe II makin meningkat di seluruh dunia terutama di negara berkembang karena perubahan gaya hidup salah yang menyebabkan obesitas. Faktor urbanisasi dan meningkatnya pelayanan kesehatan merupakan faktor penting juga karena usia menjadi lebih panjang. Untuk pertama kalinya Indonesia mempunyai data nasional prevalensi diabetes untuk daerah urban sebesar 5,7%, berkat penelitian yang baru saja selesai dilakukan oleh Litbangkes Depkes. (FKUI, 2011)
1.2    Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami tentang penyakit diebetes mellitus tipe II dan mampu memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan penyakit tersebut.
1.3    Tujuan Khusus
1.    Mahasiswa mampu memahami anatomi dan fisiologi sistem endokrin
2.    Mahasiswa mampu memahami definisi dari DM Tipe II
3.    Mahasiswa mampu memahami tentang etiologi DM Tipe II
4.    Mahasiswa mampu memahami tentang faktor resiko DM Tipe II
5.    Mahasiswa mampu memahami tentang manifestasi klinis DM Tipe II
6.    Mahasiswa mampu memahami tentang patofisiologis DM Tipe II
7.    Mahasiswa mampu memahami tentang pathway DM Tipe II
8.    Mahasiswa mampu memahami tentang komplikasi DM Tipe II
9.    Mahasiswa mampu memahami tentang pemeriksaan penunjang DM Tipe II
10.     Mahasiswa mampu memahami tentang penatalaksanaan DM Tipe II, meliputi penatalaksanaan medis, keperawatan dan diet.
11.     Mahasiswa mampu memahami tentang pengkajian keperawatan DM Tipe  II
12.     Mahasiswa mampu memahami tentang diagnosa, intervensi, dan evaluasi keperawatan DM Tipe II

1.4    Manfaat Penulisan
 Manfaat dari penulisan makalah ini adalah :
a.    Membentuk pola pikir mahasiswa menjadi terarah dan sistematik
b.    Mahasiswa mampu menyusun tulisan ilmiah yang baik dan benar
c.    Menambah pengetahuan mahasiswa tentang mekanisme penyakit pada sistem endrokin
1.5    Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini terdiri beberapa bab dan tiap-tiap bab terdiri dari beberapa bagian. Adapun isi dari tiap-tiap bagian tersebut adalah:
a.       Bagian formalitas, terdiri dari halaman judul, kata pengantar dan daftar isi.
b.      Bagian isi terdiri dari
BAB I             Pendahuluan, meliputi: Latar Belakang Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Sistematika Penulisan
BAB II           Tinjauan Teori, meliputi: Anatomi dan Fisiologi Sistem Endokrin, Definisi, Etiologi, Faktor Resiko, Manifestasi Klinis, Patofisiologi, Pathway, Komplikasi, Pemeriksaan Penunjang dan Penatalaksanaan DM Tipe II.
BAB III          Asuhan Keperawatan meliputi: Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Intervensi Keperawatan
BAB IV          penutup meliputi:kesimpulan, saran, kata penutup
c.    Bagian akhir,berisi daftar pustaka yang di gunakan penulis dalam mencari resensi buku
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1    Anatomi dan Fisiologi Sistem Endokrin
a.       Pankreas
Bagian eksokrin pankreas ( bagian terbesar prankeas)  mengahasilkan enzim-enzim pencernaan, bagian endokrinnya , berupa pulau-pulau langerhans ( sekitar satu juta pulau) , mengahsilkan hormon. Pulau langerhans terdiri atas sel-sel alfa, yang menghasilkan glukogaon sel-sel beta yang menghasilkan insulin. Glukoagon dan Insulin mengatur kadar gula darah : Insulin adalah hormon hipoglikemik ( menurunkan gula darah ) sedangkan glukoagon bersifat hiperglikemik ( meningkatkan gula darah). Selain ini ada sel delta yang menghasilkan somatostatin, yang menghambat pelepasan insulin dan glukagon ; sel f mengahasilkan polipeptida pangkreatik, yang berperan mengatur fungsi eksokrin pakreas. ( Jan Tambayong, 2001)
b.      Glukagon
Sasaran utama Glukoagon adalah hati, dengan (1) merombak glikogen menjadi glukosa (glikogenolisis) ; (2) sintesis glukosa dari asam laktat dan dar molekul non karbohidrat seperti asam lemak dan asam amino ( glukoneogenesis) ; dan (3) pembebasan glukosa ke darah oleh sel-sel hati sehingga gula darah naik. Sekresi glucagon dirangsang turunya kadar gula darah, jug anaiknya kadar asam aminao darah ( setelah makan banyak). Sebaliknya dihambat oleh kadar gula darah yang tinggi dan oleh somatostatin. ( Jan Tambayong,  2001)
c.       Insulin
Insulin adalah hormone  yang dihasilkan dalam sel beta pulau sel intra alveolar. Hormon ini terdiri dari dari asam amino. Produksinya oleh sel beta dirangsang oleh peningkatan gula darah, sepeti yang terjadi setelah makan makanan yang mengandung karbohidrat ; insulin bersirkulasi dalam darah dan akhirnya dihancurkan oleh ginjal dan hati.fungsinya adalah merangsang transfer glukoosa melalui dinding sel dan mencegah peningkatan gula darah diatas batas normal. Glukagon adalah hormon yang dihasilkan oleh sel alfa pulau sel hepar menjadi glukosa. Kerja ini menghasilkan efek berlawanan dengan kerja insulin. Produksi hormon ini dirangsang oleh penurunan gula darah, yang dapat diakibatkan oleh puasa atau melakukan latihan sedang sampai berat. ( Jhon Gibson, 2002 )

2.2    Definisi DM Tipe II
Berikut ini adalah pengertian Deabetes Melitus Tipe II menurut beberapa ahli, diantaranya:
a.    Diabetes mellitus Tipe 2 atau dikenal dengan istilah Non-insulin Dependent Millitus (NIDDM) adalah keadaan dimana hormone insulin dalam tubuh tidak dapat berfungsi dengan semestinya, hal ini dikarenakan berbagai kemungkinan seperti kecacatan dalam produksi  insulin atau berkurangnya sensitifitas (respon) sel dan jaringan tubuh terhadap insulin yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. (Nurul Wahdah, 2011)
b.    Diabetes Mellitus Tipe II adalah defek sekresi insulin, dimana pankreas tidak mampu menghasilkan insulin yang cukup untuk mempertahankan glukosa plasma yang normal, sehingga terjadi hiperglikemia yang disebabkan insensitifitas seluler akibat insulin.  (Elizabeth J Corwin, 2009)
c.     Diabetes Mellitus Tipe II adalah keadaan dimana kadar glukosa tinggi, kadar insulin tinggi atau normal namun kualitasnya kurang baik, sehingga gagal membawa glukosa masuk dalam sel, akibatnya terjadi gangguan transport glukosa yang dijadikan sebagai bahan bakar metabolisme energi. (FKUI, 2011)

2.3    Etiologi DM Tipe II
Penyebab dari DM Tipe II antara lain:
a.       Penurunan fungsi cell b pankreas
Penurunan fungsi cell b disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1)      Glukotoksisitas
Kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan menyebkan peningkatan stress oksidatif, IL-1b DAN NF-kB dengan akibat peningkatan apoptosis sel beta
2)      Lipotoksisitas
Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa dalam proses lipolisis akan mengalami metabolism non oksidatif menjadi ceramide yang toksik terhadap sel beta sehingga terjadi apoptosis
3)      Penumpukan amiloid
Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin dihambat sehingga kadar glukosa darah akan meningkat, karena itu sel beta akan berusaha mengkompensasinya dengan meningkatkan sekresi insulin hingga terjadi hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi insulin juga diikuti dengan sekresi amylin dari  sel beta yang akan ditumpuk disekitar sel beta hingga menjadi jaringan amiloid dan akan mendesak sel beta itu sendiri sehingga akirnya jumlah sel beta dalam pulau Langerhans menjadi berkurang. Pada DM Tipe II jumlah sel beta berkurang sampai 50-60%.
4)      Efek inkretin
Inkretin memiliki efek langsung terhadap sel beta dengan cara meningkatkan proliferasi sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan mengurangi apoptosis sel beta.
5)      Umur
Diabetes Tipe II biasanya terjadi setelah  usia 30 tahun dan semakin sering terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia lanjut. Usia lanjut yang mengalami gangguan toleransi glukosa mencapai 50 – 92%. Proses menua yang berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan ahirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi fungsi homeostasis. Komponen tubuh yang mengalami perubahan adalah sel beta pankreas yang mengahasilkan hormon insulin, sel-sel jaringan terget yang menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa.
6)      Genetik
b.      Retensi insulin
Penyebab retensi insulin pada DM Tipe II sebenarnya tidak begitu jelas, tapi faktor-faktor berikut ini banyak berperan:
1)      Obesitas terutama yang bersifat sentral ( bentuk apel )
Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap glukosa darah berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel diseluruh tubuh termasuk di otot berkurang jumlah dan keaktifannya kurang sensitif.
2)      Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
3)      Kurang gerak badan
4)      Faktor keturunan ( herediter )
5)      Stress
Reaksi pertama dari respon stress adalah terjadinya sekresi sistem saraf simpatis yang diikuti oleh sekresi simpatis adrenal medular dan bila stress menetap maka sistem hipotalamus pituitari akan diaktifkan. Hipotalamus mensekresi corticotropin releasing factor yang menstimulasi pituitari anterior memproduksi kortisol, yang akan mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah (FKUI, 2011)

2.4    Faktor Resiko DM Tipe II
Berikut ini adalah faktor resiko yang dapat terkena DM Tipe II, antara lain:
a.       Usia ≥ 45 tahun
b.      Usia lebih muda, terutama dengan indeks massa tubuh (IMT) >23 kg/m2 yang disertai dengan faktor resiko:
1)      Kebiasaan tidak aktif
2)      Turunan pertama dari orang tua dengan DM
3)      Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram, atau riwayat DM gestasional
4)      Hipertensi (≥140/90 mmHg)
5)      Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dl
6)      Menderita polycyctic ovarial syndrome(PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin
7)      Adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya
8)      Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular
c.       Obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel)
d.      Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
e.       Kurang gerak badan
f.       Faktor genetik
g.      Konsumsi obat-obatan yang bisa menaikkan kadar glukosa darah
h.      Stress (FKUI, 2011)
2.5    Manifestasi Klinis DM Tipe II
a.       Tanda dan gejala spesifik DM Tipe II, antara lain:
1)        Penurunan penglihatan
2)        Poliuri ( peningkatan pengeluaran urine ) karena air mengikuti glukosa dan keluar melalui urine.
3)        Polidipsia (peningkatan kadar rasa haus)akibat volume urineyang sangat besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi keplasma yang hipertonik (konsentrasi tinggi) dehidrasi intrasel menstimulasi pengeluaran hormon anti duretik (ADH, vasopresin)dan menimbulkan rasa haus
4)        Rasa lelah dan kelemahan otot akibat kataboisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi. Aliran darah yang buruk pada pasien DM kronis menyebabkan kelelahan
5)        Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pascaabsorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak dan kelaparan relatif sel. Sering terjadi penurunan berat badan tanpa terapi
6)        Konfusi atau derajat delirium
7)        Konstipasi atau kembung pada abdomen(akibat hipotonusitas lambung)
8)        Retinopati atau pembentukan katarak
9)        Perubahan kulit, khususnya pada tungkai dan kaki akibat kerusakan sirkulasi perifer, kemungkinan kondisi kulit kronis seperti selulitis atau luka yang tidak kunjung sembuh, turgor kulit buruk dan membran mukosa kering akibat dehidrasi
10)    Penurunan nadi perifer, kulit dingin, penurunan reflek, dan kemungkinan nyeri perifer atau kebas
11)    Hipotensi ortostatik (Jaime Stockslager L dan  Liz Schaeffer,2007)
b.      Tanda dan gejala non spesifik DM Tipe II, antara lain:
1)        Peningkatan angka  infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa diskresi mukus, gangguan fungsi imun dan penurunan aliran darah
2)        Gangguan penglihatan yang berhubungan dengan keseimbangan air atau pada kasus yang berat terjadi kerusakan retina
3)        Paretesia atau abnormalitas sensasi
4)        Kandidiasis vagina ( infeks ragi ), akibat peningkatan kadar glukosa disekret vagina dan urine, serta gangguan fungsi imun . kandidiasis dapat menyebabkan rasa gatal dan kadas di vagina
5)        Pelisutan otot dapat terjadi kerena protein otot digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh
6)        Efek Somogyi: Efek somogyi merupakan komplikasi akut yang ditandai penurunan unik kadar glukosa darah di malam hari, kemudian di pagi hari kadar glukosa kembali meningkat diikuti peningkatan rebound pada paginya. Penyebab hipoglikemia malam hari kemungkinan besar berkaitan dengan penyuntikan insulin di sore harinya. Hipoglikemia itu sendiri kemudian menyebabkan peningkatan glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan. Hormon ini menstimulasi glukoneogenesis sehingga pada pagi harinya terjadi hiperglikemia. Pengobatan untuk efek somogyi ditujukan untuk memanipulasi penyuntikan insulin sore hari sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan hipoglikemia. Intervensi diet juga dapat mengurangi efek somogyi. Efek somogyi banyak dijumpai pada anak-anak.
7)        Fenomena fajar ( dawn phenomenon) adalah hiperglikemia pada pagi hari ( antara jam 5 dan 9 pagi) yang tampaknya disebabkan oleh peningkatan sirkadian kadar glukosa di pada pagi hari. Fenomena ini dapat dijumpai pada pengidap diabetes Tipe I atau Tipe II. Hormone-hormon yang memperlihatkan variasi sirkadian pada pagi hari adalah kortisol dan hormon pertumbuhan, dimana dan keduanya merangsang glukoneogenesis. Pada pengidap diabetes Tipe II, juga dapat terjadi di pagi hari, baik sebagai variasi sirkadian normal maupun atau sebagai respons terhadap hormone pertumbuhan atau kortisol. (Elizabeth J Corwin, 2009)
2.6    Patofisiologi DM Tipe II
Patogenesis diabetes melitus Tipe II ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer, gangguan “hepatic glucose production (HGP)”, dan penurunan fungsi cell β, yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β. Mula-mula timbul resistensi insulin yang kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin untuk mengkompensasi retensi insulin itu agar kadar glukosa darah tetap normal. Lama kelamaan sel beta tidak akan sanggup lagi mengkompensasi retensi insulin hingga kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta makin menurun saat itulah diagnosis diabetes ditegakkan. Ternyata penurunan fungsi sel beta itu berlangsung secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi mengsekresi insulin.(  FKUI,2011 )
Individu yang mengidap DM Tipe II tetap mengahasilkan insulin. Akan tetapi jarang terjadi keterlambatan awal dalam sekresi dan penurunan jumlah total insulin yang di lepaskan. Hal ini mendorong semakin parah kondisi seiring dengan bertambah usia pasien. Selain itu, sel-sel tubuh terutama sel otot dan adiposa memperlihatkan resitensi terhadap insulin yang bersirkulasi dalam darah. Akibatnya pembawa glukosa (transporter glukosa glut-4) yang ada disel tidak adekuat. Karena sel kekurangan glukosa, hati memulai proses glukoneogenesis, yang selanjutnya makin meningkatkan kadar glukosa darah serta mestimulasai penguraian simpanan trigliserida, protein, dan glikogen untuk mengahasilkan sumber bahan bakar alternative, sehingga meningkatkan zat- zat ini didalam darah. Hanya sel-sel otak dan sel darah merah yang terus menggunakan glukosa sebagai sumber energy yang efektif . Karena masih terdapa insulin , individu dengan DM Tipe II  jarang mengandalkan asam lemak untuk menghasilkan energi dan tidak rentang terhadap ketosis. (Elizabeth J Corwin, 2009)
2.7    Pathway DM Tipe II
Terlampir

2.8    Komplikasi DM Tipe II
Beberapa komplikasi yang dapat muncul akibat DM Tipe II, antara lain:
a.    Hipoglikemia
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita diabetes yang di obati dengan insulin atau obat-obatan antidiabetik oral. Hal ini mungkin di sebabkan oleh pemberian insulin yang berlebihan, asupan kalori yang tidak adekuat, konsumsi alkohol, atau olahraga yang berlebihan. Gejala hipoglikemi pada lansia dapat berkisar dari ringan sampai berat dan tidak disadari sampai kondisinya mengancam jiwa.
b.    Ketoasidosis diabetic
Kondisi yang ditandai dengan hiperglikemia berat, merupakan kondisi yang mengancam jiwa. Ketoasidosis diabetik biasanya terjadi pada lansia dengan diabetes Tipe 1, tetapi kadang kala dapat terjadi pada individu yang menderita diabetes Tipe 2 yang mengalami stress fisik dan emosional yang ekstrim.
c.    Sindrom nonketotik hiperglikemi, hiperosmolar (Hyperosomolar hyperglycemic syndrome, HHNS) atau koma hiperosmolar
Komplikasi metabolik akut yang paling umum terlihat pada pasien yang menderita diabetes. Sebagai suatu kedaruratan medis, HHNS di tandai dengan hiperglikemia berat(kadar glukosa darah di atas 800 mg/dl), hiperosmolaritas (di atas 280 mOSm/L), dan dehidrasi berat akibat deuresis osmotic. Tanda gejala mencakup kejang dan hemiparasis (yang sering kali keliru diagnosis menjadi cidera serebrovaskular) dan kerusakan pada tingkat kesadaran (biasanya koma atau hampir koma).
d.   Neuropati perifer
Biasanya terjadi di tangan dan kaki serta dapat menyebabkan kebas atau nyeri dan kemungkinan lesi kulit. Neuropati otonom juga bermanifestasi dalam berbagai cara, yang mencakup gastroparesis (keterlambatan pengosongan  lambung yang menyebabkan perasaan mual dan penuh setelah makan), diare noktural, impotensi, dan hipotensi ortostatik.
e.    Penyakit kardiovaskuler
Pasien lansia yang menderita diabetes memiliki insidens hipertensi 10 kali lipat dari yang di temukan pada lansia yang tidak menderita diabetes. Hasil ini lebih meningkatkan resiko iskemik sementara dan penyakit serebrovaskular, penyakit arteri koroner dan infark miokard, aterosklerosis serebral, terjadinya retinopati dan neuropati progresif, kerusakan kognitif, serta depresi sistem saraf pusat.
f.     Infeksi kulit
Hiperglikemia merusak resistansi lansia terhadap infeksi karena kandungan glukosa epidermis dan urine mendorong pertumbuhan bakteri. Hal ini membuat lansia rentan terhadap infeksi kulit dan saluran kemih serta vaginitis. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
2.9    Pemeriksaan Penunjang DM Tipe II
Pemeriksaan penunjang DM Tipe II antara lain:
a.       Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa dapat diukur dari sample berupa darah biasa atau plasma. Pemeriksaan kadar glukosa darah lebih akurat karena bersifat langsung dan dapat mendeteksi kondisi hiperglikemia dan hipoglikemia. Pemeriksaan kadar glukosa darah menggunakan glukometer lebih baik daripada kasat mata karena informasi yang diberikan lebih objektif kuantitatif. (FKUI,2011)
b.      Pemeriksaan Kadar Glukosa Urine
Pemeriksaan kadar glukosa urin menggambarkan kadar glukosa darah secara tidak langsung dan tergantung pada ambang batas rangsang ginjal yang bagi kebanyakan orang sekitar 180 mg/dl. Pemeriksaan ini tidak memberikan informasi tentang kadar glukosa darah tersebut, sehingga tak dapat membedakan normoglikemia atau hipoglikemia. (FKUI, 2011)
c.       Kadar Glukosa Serum Puasa dan Pemeriksaan Toleransi Glukosa
 Memberikan diagnosis definitif diabetes. Akan tetapi, pada lansia, pemeriksaan glukosa serum postprandial 2 jam dan pemeriksaan toleransi glukosa oral lebih membantu menegakan diagnosis karena lansia mungkin memiliki kadar glukosa puasa hampir normal tetapi mengalami hiperglikemia berkepanjangan setelah makan. Diagnosis biasanya dibuat setelah satu dari tiga kriteria berikut ini terpenuhi:
1)   Konsentrasi glukosa plasma acak 200 mg/dl atau lebih tinggi.
2)   Konsentrasi glukosa darah puasa 126 mg/dl atau lebih tinggi.
3)   Kadar glukosa darah puasa setelah asupan glukosa per oral 200 mg/dl atau lebih. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
d.      Pemeriksaan Hemoglobin Terglikosilasi (hemoglobin A atau HbA1c)
 Menggambarkan kadar rata-rata glukosa serum dalam 3 bulan sebelumnya, biasanya dilakukan untuk memantau keefektifan terapi antidiabetik. Pemeriksaan ini sangat berguna, tetapi peningkatan hasil telah ditemukan pada lansia dengan toleransi glukosa normal. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
e.       Fruktosamina serum
Menggambarkan kadar glukosa serum rata-rata selama 2 sampai 3 minggu sebelumnya, merupakan indicator yang lebih baik pada lansia karena kurang menimbulkan kesalahan. Sayangnya pemeriksaan ini tidak stabil sehingga jarang dilakukan. Namun pemeriksaan ini dapat bermanfaat pada keadaan dimana pengukuran AIC tidak dapat dipercaya, misalnya pada keadaan anemia hemolitik. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
f.       Pemeriksaan keton urine
Kadar glukosa darah yang terlalu tinggi dan kurang hormone insulin menyebabkan tubuh menggunakan lemak sebagai sumber energy. Keton urin dapat diperiksa dengan menggunkan reaksi kolorimetrik antara benda keton dan nitroprusid yang menghasilkan warna ungu. (FKUI,2011)
g.      Pemeriksaan Hiperglikemia Kronik (Test AIC)
Pada penyandang DM, glikosilasi hemoglobin meningkat secara proporsional dengan kadar rata-rata glukosa darah selama 8-10 minggu terakhir. Bila kadar glukosa darah dalam keadaan normal antara 70-140 mg/dl selama 8-10 minggu terakhir, maka test AIC akan menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan AIC dipengaruhi oleh anemia berat, kehamilan, gagal ginjal dan hemoglobinnopati. Pengukuran AIC dilakukan minimal 4bulan sekali dalam setahun. (FKUI, 2011)
h.      Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri (PKGS)
PKGS memberikan informasi kepada penyandang DM mengenai kendali glikemik dari hai kehari sehingga memungkinkan klien melakukan penyesuaian diet dan pengobatan terutama saat sakit, latihan jasmani dan aktivitas lain. PKGS memberikan feedback cepat kepada pasien terhadap kadar glukosa setiap hari. (FKUI,2011)
i.        Pemantauan Glukosa Berkesinambungan (PGB)
Merupakan metode sample glukosa cairan intestinal ( yang berhubungan dengan glukosa darah) telah banyak digunakan untuk mengetahui kendali glikemik. Caranya adalah menggunakan sistem mikrodialisis yang dinsersi secara subkutan, konsentrasi glukosa kemudian diukur dengan detector elektroda oksidasi glukosa. Sensor glukosa pada PGB memiliki alaram untuk mendeteksi kondisi hipoglikemi dan hiperglikemi. (FKUI)

2.10 Penatalaksanaan DM Tipe II
a.       Penatalaksanaan Medis
Sarana pengelolaan farmakologis diabetes dapat berupa:
1)      Obat Hipoglikemik Oral
a)      Pemicu sekresi insulin
(1)   Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Efek ekstra pankreas yaitu memperbaiki sensitivitas insulin ada, tapi tidak penting karena ternyata obat ini tidak bermanfaat pada pasien insulinopenik. Mekanisme kerja golongan obat ini antara lain:
(a)      Menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan ( Stored insulin)
(b)     Menurunkan ambang sekresi insulin
(c)      Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa (FKUI, 2011)
(2)   Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea, dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2  macam obat yaitu: Repaglinid (derivate asam benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.(FKUI, 2011)
b)      Penambah sensitivitas terhadap insulin
(1)   Biguanid
Saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah metformin. Etformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap insulin pada tingkat selular, distal dari reseptor insulin serta juga pada efeknya menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan menghambat absorbsi glukosa dari usus pada keadaan sesudah makan. (FKUI, 2011)
(2)   Tiazolidindion
Tiazolidindion adalah golongan obat yang mempunyai efek farmakologis meningkatkan sesitivitas insulin. Golongan obat ini bekerja meningkatkan glukosa disposal pada sel dan mengurangi produksi glukosa dihati.( FKUI, 2011)
c)      Penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabakan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.(FKUI, 2011)
d)     Incretin mimetic, penghambat DPP-4
Obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dan penekanan terhadap sekresi glukagon dapat menjadi lama, dengan hasil kadar glukosa dapat diturunkan. (FKUI, 2011)
2)   Insulin
Insulin adalah suatu hormone yang diproduksi oleh sel beta dari pulau Langerhanss kelenjar pankreas. Insulin dibentuk dari proinsulin yang bila kemudian distimulasi, terutama oleh peningkatan kadar glukosa darah akan terbelah untuk menghasilkan insulin dan peptide penghubung (C-peptide)yang masuk kedalam aliran darah dalam jumlah ekuimolar.
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM Tipe II akan memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Pada DM Tipe II tertentu akan butuh insulin bila:
a)      Terapi jenis lain tida dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa darah
b)      Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark miocard akut atau stroke.
Pengaruh insulin tehadap jaringan tubuh antara lain insulin menstimulasi pemasukan asam amino ke dalam sel dan kemudian meningkatkan sintesa protein. Insulin meningkatkan penyimpanan lemak dan mencegah penggunaan lemak sebagai bahan energi. Insulin menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel untuk di gunakan sebagai sumber energi dan membantu penyimpanan glikogen di dalam sel otot dan hati.(FKUI,2011)                                                 
b.      Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada kasus DM Tipe II antara lain:
1)   Memberikan penyuluhan tentang keadaaan penyakit, symptom, hasil yang ditemukan dan alternative tindakan yang akan diambil pada pasien maupun keluarga pasien.
2)   Memberikan motivasi pada klien dan keluarga agar dapat memanfaatkan potensi atau sumber yang ada guna menyembuhkan anggota keluarga yang sakit dan menyelesaikan masalah penyakit diabetes dan resikonya.
3)   Konseling untuk hidup sehat yang juga dimengerti keluarga dalam pengobatan dan pencegahan resiko komplikasi lebih lanjut
4)   Memberikan penyuluhan untuk perawatan diri, budaya bersih, menghindari alkohol, penggunaaan waktu luang yang positif untuk kesehatan, menghilangkan stress dalam rutinitas kehidupan atau pekerjaan, pola makan yang baik
5)   Memotivasi penanggung jawab keluarga untuk memperhatikan keluhan dan meluangkan waktu bagi anggota keluarga yang terkena DM atau yang memiliki resiko
6)   Mengawasi diit klien DM Tipe II, bila perlu berikan jadwal latihan jasmani atau kebugaran yang sesuai.
c.       Penatalaksanaan Diet
Tujuan umum terapi gizi adalah membantu orang dengan diabetes memperbaiki kebiasaan gizi dan olahraga untuk mendapatakan control metabolic yang lebih baik, dan beberapa tambahan tujuan khusus yaitu:
1)   Mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal dengan keseimbangan asupan makanan dengan insulin(endogen/eksogen) atau obat hipoglikemik oral dan tingkat aktifitas
2)   Mencapai kadar serum lipid yang optimal.
3)   Memberikan energy yang cukup untuk mencapai atau mempertahankan berat badan yang memadai pada orang dewasa mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang normal pada anak dan remaja, untuk peningkatan kebutuhan metabolic selama kehamilan dan laktasi atau penyambuhan dari penyakit metabolic
4)   Dapat mempertahankan berat badan yang memadai
5)   Menghindari dan menangani komplikasi akut orang dengan diabetes yang menggunakan insulin seperti hipoglikemia, penyakit jangka pendek, komplikasi kronik diabetes seperti penyakit ginjal, hipertensi, neuropati autonomic dan penyakit jantung
6)   Meningkatkan kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal.
Kebutuhan zat gizi penderita DM Tipe II
1)   Protein
Menurut consensus pengelolaan diabetes di Indonesia tahun 2006, Kebutuhan protein untuk penyandang diabetes sebesar  10-20% energi dari protein total.
2)   Total lemak
Asupan lemak di anjurkan <7% energy dari lemak jenuh dan tidak lebih 10% energy dari lemak titk jenuh ganda, sedangkan selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal. Anjuran asupan lemak di Indonesia adalah 20-25% energi.
3)   Lemak jenuh dan kolesterol
Tujuan utama pengurangan konsumsi lemak jenuh dan kolesterol adalah untuk menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu <7% asupan energy sehari seharusnya dari lemak jenuh dan asupan kolesterol makanan tidak lebih dari 300mg per hari.
4)   Karbohidrat dan pemanis
Anjuran konsumsi karbohidrat untuk penderita diabetes di Indonesia adalah 45-65% energy.
a)    Sukrosa
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan sukrosa bagian dari perencanaan makan tidak memperburuk control glukosa darah pada individu dengan diabetes.
b)   Pemanis
Fruktosa menaikkan glikosa plasma lebih kecil daripada sukrosa dan kebanyakan karbohidrat jenis tepung-tepungan. Sakarin, aspartame, acesulfame K adalah pemanis tak bergizi yang dapat di terima sebagai pemanis pada semua penderita DM.
5)   Serat
Rekomendasi asupan serat untuk orang dengan diabetessama dengan untuk orang yang tidak diabetes yaitu dianjurkan mengkonnsumsi 20-35 gr serat makanan dari berbagai sumber makanan. Di Indonesia anjurannya adalah kira-kira 25gr /1000 kalori perhari dengan mengutamakan serat larut
6)   Natrium
Asupan untuk orang diabetes sama dengan orang biasa yaitu tidak lebih dari 3000 mg, sedangkan bagi penderita hipertensi ringan sampai sedang di anjurkan 2400 mg natrium perhari.
7)   Alkohol
Asupan kalori dari alkohol di perhitungkan sebagai bagian dari asupan kalori total dan sebagai penukar lemak ( 1 minuman alkohol = 2 penukar lemak)
8)   Mikronutrien: vitamin dan mineral
Apabila asupan gizi cukup, biasanya tidak perlu menambah suplemen vitamin dan mineral. Walaupun ada alasan teoritis untuk memberikan suplemen antioksidan pada saat ini hanya sedikit bukti yang menunjang bahwa terapi tersebut menguntungkan.( FKUI, 2011 )













BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1    Pengkajian Keperawatan
1.    Identitas pasien
2.    Identitas penanggung jawab pasien
3.    Keuhan utama
4.    Riwayat kesehatan keluarga
Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
5.    Riwayat kesehatan pasien dan pengobatan sebelumnya
Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya,mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.
6. Pemeriksaan Fisik
1.    Aktivitas / istirahat
Gejala    :    -    Lemah, letih, sulit bergerak / berjalan
-       Kram otot, tonus otot menurun, gangguan tidur
Tanda    :    -    Takikardia dan takipnea pada keadaan isitrahat atau dengan aktivitas
-       Letargi / disorientasi, koma
-       Penurunan kekuatan otot
2.    Sirkulasi
Gejala    :    -    Adanya riwayat hipertensi
-       Klaudikasi, kebas dan kesemutan pada ekstremitas
-       Ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama
Tanda    :    -    Takikardia
-       Perubahan tekanan darah postural, hipertensi
-       Nadi yang menurun / tidak ada
-       Disritmia
-       Krekels
-       Kulit panas, kering, kemerahan, bola mata cekung
3.    Integritas Ego
Gejala    :    -    Stress, tergantung pada orang lain
-       Masalah finansial yang berhubungan dengan kondisi
Tanda    :    -    Ansietas, peka rangsang
4.    Eliminasi
Gejala    :    -    Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia
-       Rasa nyeri / terbakar, kesulitan berkemih (infeksi)
-       Nyeri tekan abdomen
-       Diare
Tanda    :    -    Urine encer, pucat, kuning : poliuri
5.    Makanan / cairan
Gejala    :    -    Hilang nafsu makan
-       Mual / muntah
-       Tidak mengikuti diet : peningkatan masukan glukosa / karbohidrat.
-       Penurunan BB lebih dari periode beberapa hari / minggu
-       Haus
-       Penggunaan diuretic (tiazid)
Tanda    :    -    Disorientasi : mengantuk, letargi, stupor / koma (tahap lanjut). Ganguan memori (baru, masa lalu) kacau mental.
6.    Nyeri / kenyamanan
Gejala    :    -    Abdomen yang tegang / nyeri (sedang/berat)
Tanda    :    -    Wajah meringis dengan palpitasi; tampak sangat berhati-hati
7.    Pernafasan
Gejala    :    -    Merasa kekurangan oksigen : batuk dengan / tanpa sputum purulen (tergantung ada tidaknya infeksi)
Tanda    :    -    Lapar udara
-       Batuk, dengan / tanpa sputum purulen (infeksi)
-       Frekuensi pernafasan
8.    Keamanan
Gejala    :    -    Kulit kering, gatal; ulkus kulit
Tanda    :    -    Demam, diaphoresis
-       Kulit rusak, lesi / ilserasi
-       Menurunnya kekuatan umum / rentang gerak
3.2. Diagnosa Keperawatan
1.       Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d penurunan masukan oral, mual, anoreksia, peningkatan metabolisme protein dan lemak
2.       Devisit volume cairan dean elektrolit b/d diuresis osmotic
3.       Intoleransi aktivitas b/d penurunan simpanan energi
4.       Gangguan integritas kulit b/d gangren
5.       Gangguan citra diri b/d ekstremitas gangren
6.       Resiko injuri b/d gangguan penglihatan
3.3. Intervensi Keperawatan
1.    Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d penurunan masukan oral, mual, anoreksia, peningkatan metabolisme protein dan lemak
Tujuan             :    Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil   :    Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat, BB stabil, nilai lab normal
Intervensi :
a.    Timbang berat badan tiap hari atau sesuai dengan indikasi
Rasional   :    Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat
b.   Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien
Rasional   :    Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik
c.    Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrient) dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui pemberian cairan melalui oral
Rasional   :    Pemberian makanan melalui oral lebih baik jika pasien sadar dan fungsi gastroisntetinal baik
d.   Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti glukosa darah, aseton, pH, dan HCO3
Rasional   :    Gula darah akan menurun perlahan dengan penggantian cairan dan terapi insulin terkontrol.
e.    Kolaborasi dengan ahli diet
Rasional   :    Sangat bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuaian diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien

2.    Devisit volume cairan dan elektorlit b/d diuresis osmotic
Tujuan             :    Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil   :    Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
a.    Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD orotstatik
Rasional   :    Hipovelemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia.
b.   Ukur berat badan setiap hari
Rasional   :    Memberikan hasil pengkajian yang terbaik di status cairan yang sedang berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
c.    Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
Rasional   :    Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi atau volume sirkulasi yang adekuat
d.   Pantau pemeriksaan lab seperti : Hematoksit (Ht), BUN (kreatinin) dan Osmulalitas darah, Natrium, kalium
Rasional   :   
-       Ht  :    Mengkaji tingkat hidrasi dan sering kali meningkat akibat homokonsentrasi yang terjadi setelah dieresis osmotik
-       BUN :    Peningkatan nilai dapat mencerminkan kerusakan sel karena dehidrasi atau tanda awitan kegagalan ginbjal.
-       Osmolalitas darah :    Meningkat sehubungan dengan adanya hiperglikemia dan dehidrasi
-       Natrium                  :    Mungkin menurun yang dapat mencerminkan perpindahan cairan dari intra sel (dieresis osmotik)
-       Kalium                   :    Awalnya akan terjadi hiperkalemia dalam breepons pada asodisis

3.    Intoleransi aktivitas b.d penurunan simpanan energi
Tujuan             :    Pada pasien tidak terjadi kelelahan dengan penurunan produksi energi
Kriteria hasil   :    - Mengungkapkan peningkatan tingkat energy
-          Menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan
Intervensi :
1.      Diskusi dengan pasien kebutuhan akan aktivitas. Membuat jadwal perencanaan dengan pasien dan identifikasi aktivitas yang menimbulkan kelelahan.
Rasional   :    Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat aktivitas meskipun pasien mungkin sangat lemah.
2.      Beri aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup / tanpa diganggu.
Rasional   :    Mencegah kelelahan yang berlebihan.
3.      Pantau nadi, frekuensi pernafasan dan TD sebelum / sesudah melakukan aktivitas.
Rasional   :    Mengidentifikasi tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologi.
4.      Mendiskusikan cara menghemat kalori selama mandi, berpindah tempat.
Rasional   :    Pasien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan dengan penurunan kegiatan akan pada energi pada setiap kegiatan.
5.      Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan yang dapat ditoleransi.
Rasional   :    Meningkatkan kepercayan diri / harga diri positif sesuai tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi pasien.
4.    Gangguan integritas kulit b/d gangren
Tujuan             :    Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan integritas kulit dapat membaik.
Kriteria hasil   :    -    Mempertahankan integritas kulit
-     Mendemonstrasikan perilaku / teknik mencegah kerusakan kulit.
Intervensi :
1.      Lihat kulit, area sirkulasinya terganggu / pigmentasi atau kegemukan / kurus
Rasional   :    Kulit beresiko karena gangguan sirkulasinya perifer, imobilitas fisik dan gangguan status nutrisi.
2.      Dapatkan kultur dari drainase luka saat masuk
Rasional   :    Mengidentifikasi pathogen dan terapi pilihan
3.      Rendam kaki dalam air steril pada suhu kamar dengan larutan betadine tiga kali sehari selama 15 menit
Rasional   :    Germisidal lokal efektif untuk luka permukaan
4.      Balut luka dengan kasa kering steril. Gunakan plester kertas
Rasional :      Menjaga kebersihan luka / meminimalkan kontaminasi silang. Plester adesif dapat membuat abrasi terhadap jaringan mudah rusak.
5.      Berikan dikloksasi 500 mg per oral setiap 6 jam, mulai jam 10 malam amati tanda-tanda hipersensitivitas, seperti : pruritus, urtikaria, ruam
Rasional   :    Pengobatan infeksi / pencegahan komplikasi. Makanan yang mengganggu absorbsi obat memerlukan penjadwalan sekitar jam makan. Meskipun tidak ada riwayat reaksi penicilin tetapi dapat terjadi kapan saja.
5.    Gangguan citra diri b/d ekstremitas gangren
Tujuan             :    Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam pasien dapat menerima keadaannya yang sekarang.
Kriteria hasil   :    -    Pasien menerima keadaannya yang sekarang
-     Menunjukkan pandangan yang realistis dan pemahaman diri dalam situasi.
Intervensi :
1.      Dengarkan dengan aktif masalah dan ketakutan pasien
Rasional   :    Menyampaikan perhatian dan dapat lebih efektif mengidentifikasi kebutuhan dan masalah dan juga strategi koping pasien dan seberapa efektif.
2.      Dorong pengungkapan perasaan, penerima apa yang dikatakannya
Rasional   :    Membantu pasien / orang terdekat untuk memulai menerima perubahan dan mengurangi ansietas mengenai perubahan fungsi atau gaya hidup.
3.      Diskusikan pandangan klien terhadap citra diri dan efek yang ditimbulkan dari penyakit
Rasional   :    Persepsi pasien mengenai pada perubahan citra diri mungkin terjadi secara tiba-tiba atau kemudian atau menjadi proses halus yang secara terus menerus.
4.      Bantu pasien atau orang terdekat dengan menjelaskan hal-hal yang diharapkan dan hal-hal tersebut mungkin diperkukan untuk dilepaskan atau diubah.
Rasional   :    Memberi kesempatan untuk mengidentifikasi kesalahan konsep dan mulai melihat pilihan-pilihan, meningkatkan orientasi realita.
5.      Rujuk pada dukungan psikiatri atau group terapi, pelayanan sosial sesuai petunjuk
Rasional   :    Mungkin dibutuhkan untuk membantu pasien / orang terdekat untuk mencapai kesembuhan optimal.
6.    Resiko injuri b/d gangguan penglihatan
Tujuan             :    Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan tidak terjadi injuri pada pasien
Kriteria hasil   :    -    Mengidentifikasi faktor-faktor resiko injuri
-     Memodifikasi lingkungan sesuai petunjuk untuk meningkatkan keamanan dan penggunaan sumber-sumber secara tepat.
Intervensi :
1.      Hindarkan alat-alat yang dapat menghalangi aktivitas pasien
Rasional   :    Untuk meminimalisir terjadinya cedera
2.      Gunakan bed yang rendah
Rasional   :    Meminimalkan resiko cedera
3.      Orientasikan untuk pemakaian alat bantu penglihatan ex. Kacamata
Rasional   :    Membantu dalam penglihatan klien
4.      Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi
Rasional   :    Agar tidak terjadi injuri























BAB IV
PENUTUP
4.1    Kesimpulan
Diabetes Mellitus Tipe II adalah keadaan dimana kadar glukosa tinggi, kadar insulin tinggi atau normal namun kualitasnya kurang baik, sehingga gagal membawa glukosa masuk dalam sel, akibatnya terjadi gangguan transport glukosa yang dijadikan sebagai bahan bakar metabolisme energi. Penyebab DM Tipe II antara lain: penurunan fungsi cell b pankreas dan retensi insulin.
Faktor-faktor resiko yang dapat terkena DM Tipe II antara lain: usia ≥ 45 tahun, usia lebih muda, terutama dengan indeks massa tubuh (IMT) >23 kg/m2 yang disertai dengan kebiasaan tidak aktif; turunan pertama dari orang tua dengan DM; riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram, atau riwayat DM gestasional; hipertensi (≥140/90 mmHg); kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dl; menderita polycyctic ovarial syndrome(PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin; adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya; memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel), diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat, kurang gerak badan, genetic dan stress.
Tanda gejala DM Tipe II antara lain: penurunan penglihatan, poliuri polidipsia, rasa lelah dan kelemahan otot, polifagia, konfusi atau derajat delirium, konstipasi atau kembung pada abdomen, retinopati atau pembentukan katarak, perubahan kulit, penurunan nadi perifer, kulit dingin, penurunan reflek, dan kemungkinan nyeri perifer atau kebas, hipotensi ortostatik , peningkatan angka  infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa diskresi mukus, gangguan fungsi imun dan penurunan aliran darah , paretesia atau abnormalitas sensasi, kandidiasis vagina, pelisutan otot, efek somogyi dan fenomena fajar.
Komplikasi yang dapat muncul antara lain: hipoglikemia, ketoasidosis diabetic, sindrom nonketotik hiperglikemi, hiperosmolar (Hyperosomolar hyperglycemic syndrome, HHNS) atau koma hiperosmolar, neuropati perifer, penyakit kardiovaskuler dan infeksi kulit.
4.2    Saran
Dari pembahasan diatas penulis memiliki beberapa saran diantaranya:
a.       Biasakan diri untuk hidup sehat.
b.      Biasakan diri berolahraga secara teratur.
c.       Hindari makanan siap saji dengan kandungan karbohidrat dan lemak tinggi.
d.      Konsumsi sayuran dan buah-buahan.
e.       Hindari pemakaian alkohol dan konsumsi makanan yang terlalu manis.
4.3    Kata Penutup
Alhamdulillah makalah ini dapat terselesaikan dengan baik tanpa ada hambatan yang berarti. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Hanya kepada Allah penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.