BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
. Diabetes sudah dikenal sejak berabad-abad sebelum Masehi. Pada
Papyrus Ebers di Mesir kurang lebih 1500 SM, digambarkan adanya penyakit dengan
tanda-tanda banyak kencing. Kemudian Celsus atau Paracelsus ± 30 th SM juga
menemukan penyakit itu, tapi baru 200 tahun kemudian, Aretaeus menyebutnnya
sebagai penyakit aneh dan menamai penyakit itu diabetes dari kata diabere yang berarti siphon atau tabung
untuk mengalirkan cairan dari suatu tempat ketempat lain. Dia menggambarkan
penyakit itu sebagai melelehnya daging dan tungkai kedalam urin. Cendekiawan
Cina dan India pada abad 3 sampai 6 Masehi juga menemukan penyakit ini, malah
mereka mengatakan bahwa urine pasien rasanya manis. Tahun 1674 Willis
melukiskan urin tadi seperti digelimangi madu dan gula, maka semenjak itu nama
penyakit tersebut ditamba kata mellitus
yang berarti madu.(FKUI, 2011)
Saat ini diabetes mellitus merupakan penyakit degenerative yang
diperkirakan akan terus meningkat prevalensinya. Pada tahun 2003 prevalensi
diabetes didunia diperkirakan 194 juta, jumlah ini kemungkinan mencapai 333
juta ditahun 2025. Data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2007 menyebutkan
prevalensi DM secara nasional mencapai 5,7%. .(FKUI, 2011)
Melihat
tendensi kenaikan prevalensi diabetes secara global yang disebabkan karena
peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan demikian dapat dimengerti
bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang
akan datang kekerapan DM Tipe 2 di Indonesia akan meningkat dengan drastis,
yang disebabkan oleh beberapa faktor :
a.
Faktor
keturunan (genetik)
b.
Faktor
kegemukan/obesitas
1)
Perubahan
gaya hidup dari tradisional ke gaya hidup barat
2)
Makan
berlebihan
3)
Hidup
santai, kurang gerak badan
c.
Faktor
Demografi
1)
Jumlah
penduduk meningkat
2)
Urbanisasi
3)
Penduduk
berumur diatas 40 tahun meningkat
d.
Berkurangnya
penyakit infeksi dan kurang gizi.(FKUI, 2011)
Jumlah penyandang diabetes terutama diabetes Tipe II makin
meningkat di seluruh dunia terutama di negara berkembang karena perubahan gaya
hidup salah yang menyebabkan obesitas. Faktor urbanisasi dan meningkatnya
pelayanan kesehatan merupakan faktor penting juga karena usia menjadi lebih
panjang. Untuk pertama kalinya Indonesia mempunyai data nasional prevalensi
diabetes untuk daerah urban sebesar 5,7%, berkat penelitian yang baru saja
selesai dilakukan oleh Litbangkes Depkes. (FKUI, 2011)
1.2
Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami tentang penyakit diebetes
mellitus tipe II dan mampu memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan
penyakit tersebut.
1.3
Tujuan Khusus
1.
Mahasiswa mampu memahami anatomi dan fisiologi
sistem endokrin
2.
Mahasiswa mampu memahami
definisi dari DM Tipe II
3.
Mahasiswa mampu memahami
tentang etiologi DM Tipe II
4.
Mahasiswa mampu memahami
tentang faktor resiko DM Tipe II
5.
Mahasiswa mampu memahami
tentang manifestasi klinis DM Tipe II
6.
Mahasiswa mampu memahami
tentang patofisiologis DM Tipe II
7.
Mahasiswa mampu memahami
tentang pathway DM Tipe II
8.
Mahasiswa mampu memahami
tentang komplikasi DM Tipe II
9.
Mahasiswa mampu memahami
tentang pemeriksaan penunjang DM Tipe II
10.
Mahasiswa mampu memahami
tentang penatalaksanaan DM Tipe II, meliputi penatalaksanaan medis,
keperawatan dan diet.
11.
Mahasiswa mampu memahami
tentang pengkajian keperawatan DM Tipe
II
12.
Mahasiswa mampu memahami
tentang diagnosa, intervensi, dan
evaluasi keperawatan DM Tipe
II
1.4
Manfaat Penulisan
Manfaat
dari penulisan makalah ini adalah :
a. Membentuk pola pikir mahasiswa menjadi terarah dan sistematik
b. Mahasiswa mampu menyusun tulisan ilmiah yang baik dan benar
c. Menambah
pengetahuan mahasiswa tentang mekanisme penyakit pada sistem endrokin
1.5
Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini terdiri beberapa bab dan tiap-tiap bab terdiri dari beberapa
bagian. Adapun isi dari tiap-tiap
bagian tersebut adalah:
a.
Bagian
formalitas, terdiri dari halaman judul, kata pengantar dan daftar isi.
b.
Bagian
isi terdiri dari
BAB I Pendahuluan,
meliputi: Latar Belakang Masalah,
Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Sistematika
Penulisan
BAB II Tinjauan Teori, meliputi: Anatomi dan Fisiologi Sistem Endokrin, Definisi,
Etiologi, Faktor Resiko, Manifestasi Klinis, Patofisiologi, Pathway,
Komplikasi, Pemeriksaan Penunjang dan Penatalaksanaan DM Tipe II.
BAB III Asuhan Keperawatan meliputi: Pengkajian,
Diagnosa Keperawatan, Intervensi Keperawatan
BAB
IV penutup meliputi:kesimpulan,
saran, kata penutup
c.
Bagian akhir,berisi daftar pustaka yang di gunakan penulis dalam mencari
resensi buku
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1
Anatomi
dan Fisiologi Sistem Endokrin
a.
Pankreas
Bagian eksokrin pankreas ( bagian terbesar prankeas) mengahasilkan enzim-enzim pencernaan, bagian
endokrinnya , berupa pulau-pulau langerhans ( sekitar satu juta pulau) ,
mengahsilkan hormon. Pulau langerhans terdiri atas sel-sel alfa, yang
menghasilkan glukogaon sel-sel beta yang menghasilkan insulin. Glukoagon dan
Insulin mengatur kadar gula darah : Insulin adalah hormon hipoglikemik (
menurunkan gula darah ) sedangkan glukoagon bersifat hiperglikemik (
meningkatkan gula darah). Selain ini ada sel delta yang menghasilkan
somatostatin, yang menghambat pelepasan insulin dan glukagon ; sel f
mengahasilkan polipeptida pangkreatik, yang berperan mengatur fungsi eksokrin
pakreas. ( Jan Tambayong, 2001)
b.
Glukagon
Sasaran utama Glukoagon adalah hati, dengan (1) merombak glikogen
menjadi glukosa (glikogenolisis) ; (2) sintesis glukosa dari asam laktat dan
dar molekul non karbohidrat seperti asam lemak dan asam amino ( glukoneogenesis)
; dan (3) pembebasan glukosa ke darah oleh sel-sel hati sehingga gula darah
naik. Sekresi glucagon dirangsang turunya kadar gula darah, jug anaiknya kadar
asam aminao darah ( setelah makan banyak). Sebaliknya dihambat oleh kadar gula
darah yang tinggi dan oleh somatostatin. ( Jan Tambayong, 2001)
c.
Insulin
Insulin adalah hormone yang
dihasilkan dalam sel beta pulau sel intra alveolar. Hormon ini terdiri dari
dari asam amino. Produksinya oleh sel beta dirangsang oleh peningkatan gula
darah, sepeti yang terjadi setelah makan makanan yang mengandung karbohidrat ;
insulin bersirkulasi dalam darah dan akhirnya dihancurkan oleh ginjal dan
hati.fungsinya adalah merangsang transfer glukoosa melalui dinding sel dan
mencegah peningkatan gula darah diatas batas normal. Glukagon adalah hormon
yang dihasilkan oleh sel alfa pulau sel hepar menjadi glukosa. Kerja ini
menghasilkan efek berlawanan dengan kerja insulin. Produksi hormon ini
dirangsang oleh penurunan gula darah, yang dapat diakibatkan oleh puasa atau
melakukan latihan sedang sampai berat. ( Jhon Gibson, 2002 )
2.2
Definisi
DM Tipe II
Berikut
ini adalah pengertian Deabetes Melitus Tipe II menurut beberapa ahli,
diantaranya:
a.
Diabetes
mellitus Tipe 2 atau dikenal dengan istilah Non-insulin
Dependent Millitus (NIDDM) adalah keadaan dimana hormone insulin dalam
tubuh tidak dapat berfungsi dengan semestinya, hal ini dikarenakan berbagai
kemungkinan seperti kecacatan dalam produksi
insulin atau berkurangnya sensitifitas (respon) sel dan jaringan tubuh
terhadap insulin yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam
darah. (Nurul Wahdah, 2011)
b.
Diabetes
Mellitus Tipe II adalah defek sekresi insulin, dimana
pankreas tidak mampu menghasilkan insulin yang cukup untuk mempertahankan
glukosa plasma yang normal,
sehingga terjadi hiperglikemia yang disebabkan insensitifitas seluler akibat
insulin. (Elizabeth J Corwin, 2009)
c.
Diabetes Mellitus Tipe II adalah keadaan
dimana kadar glukosa tinggi, kadar insulin tinggi atau normal namun kualitasnya
kurang baik, sehingga gagal membawa glukosa masuk dalam sel, akibatnya terjadi
gangguan transport glukosa yang dijadikan sebagai bahan bakar metabolisme
energi. (FKUI, 2011)
2.3
Etiologi
DM Tipe II
Penyebab dari DM Tipe II antara
lain:
a.
Penurunan
fungsi cell b pankreas
Penurunan fungsi cell b disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1)
Glukotoksisitas
Kadar
glukosa darah yang berlangsung lama akan menyebkan peningkatan stress
oksidatif, IL-1b DAN NF-kB dengan akibat peningkatan apoptosis sel beta
2)
Lipotoksisitas
Peningkatan
asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa dalam proses lipolisis akan
mengalami metabolism non oksidatif menjadi ceramide yang toksik terhadap sel
beta sehingga terjadi apoptosis
3)
Penumpukan
amiloid
Pada
keadaan resistensi insulin, kerja insulin dihambat sehingga kadar glukosa darah
akan meningkat, karena itu sel beta akan berusaha mengkompensasinya dengan
meningkatkan sekresi insulin hingga terjadi hiperinsulinemia. Peningkatan
sekresi insulin juga diikuti dengan sekresi amylin dari sel beta yang akan ditumpuk disekitar sel
beta hingga menjadi jaringan amiloid dan akan mendesak sel beta itu sendiri
sehingga akirnya jumlah sel beta dalam pulau Langerhans menjadi berkurang. Pada
DM Tipe II jumlah sel beta berkurang sampai 50-60%.
4)
Efek
inkretin
Inkretin
memiliki efek langsung terhadap sel beta dengan cara meningkatkan proliferasi
sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan mengurangi apoptosis sel beta.
5)
Umur
Diabetes Tipe
II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin sering terjadi
setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia lanjut. Usia
lanjut yang mengalami gangguan toleransi glukosa mencapai 50 – 92%. Proses
menua yang berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis,
fisiologis, dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada
tingkat jaringan dan ahirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi fungsi
homeostasis. Komponen tubuh yang mengalami perubahan adalah sel beta pankreas
yang mengahasilkan hormon insulin, sel-sel jaringan terget yang menghasilkan
glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa.
6)
Genetik
b.
Retensi
insulin
Penyebab
retensi insulin pada DM Tipe II sebenarnya tidak begitu jelas, tapi
faktor-faktor berikut ini banyak berperan:
1)
Obesitas
terutama yang bersifat sentral ( bentuk apel )
Obesitas
menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap glukosa darah berkurang, selain
itu reseptor insulin pada sel diseluruh tubuh termasuk di otot berkurang jumlah
dan keaktifannya kurang sensitif.
2)
Diet
tinggi lemak dan rendah karbohidrat
3)
Kurang
gerak badan
4)
Faktor
keturunan ( herediter )
5)
Stress
Reaksi
pertama dari respon stress adalah terjadinya sekresi sistem saraf simpatis yang
diikuti oleh sekresi simpatis adrenal medular dan bila stress menetap maka
sistem hipotalamus pituitari akan diaktifkan. Hipotalamus mensekresi corticotropin
releasing factor yang menstimulasi pituitari anterior memproduksi kortisol,
yang akan mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah (FKUI, 2011)
2.4
Faktor
Resiko DM Tipe II
Berikut ini adalah faktor resiko yang dapat terkena DM Tipe II,
antara lain:
a.
Usia
≥ 45 tahun
b.
Usia
lebih muda, terutama dengan indeks massa tubuh (IMT) >23 kg/m2
yang disertai dengan faktor resiko:
1)
Kebiasaan
tidak aktif
2)
Turunan
pertama dari orang tua dengan DM
3)
Riwayat
melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram, atau riwayat DM gestasional
4)
Hipertensi
(≥140/90 mmHg)
5)
Kolesterol
HDL ≤ 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dl
6)
Menderita
polycyctic ovarial syndrome(PCOS)
atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin
7)
Adanya
riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT) sebelumnya
8)
Memiliki
riwayat penyakit kardiovaskular
c.
Obesitas
terutama yang bersifat sentral (bentuk apel)
d.
Diet
tinggi lemak dan rendah karbohidrat
e.
Kurang
gerak badan
f.
Faktor
genetik
g.
Konsumsi
obat-obatan yang bisa menaikkan kadar glukosa darah
h.
Stress
(FKUI, 2011)
2.5
Manifestasi
Klinis DM Tipe II
a.
Tanda
dan gejala spesifik DM Tipe II, antara lain:
1)
Penurunan
penglihatan
2)
Poliuri ( peningkatan pengeluaran urine ) karena air
mengikuti glukosa dan keluar melalui urine.
3)
Polidipsia (peningkatan kadar rasa haus)akibat volume urineyang
sangat besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi
intrasel mengikuti ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel
mengikuti penurunan gradien konsentrasi keplasma yang
hipertonik (konsentrasi tinggi) dehidrasi intrasel menstimulasi
pengeluaran hormon anti duretik (ADH, vasopresin)dan menimbulkan rasa haus
4)
Rasa lelah dan kelemahan otot akibat kataboisme protein di otot dan
ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi.
Aliran darah yang buruk pada pasien DM kronis menyebabkan kelelahan
5)
Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pascaabsorptif yang
kronis, katabolisme protein dan lemak dan kelaparan relatif sel. Sering terjadi
penurunan berat badan tanpa terapi
6)
Konfusi
atau derajat delirium
7)
Konstipasi
atau kembung pada abdomen(akibat hipotonusitas lambung)
8)
Retinopati
atau pembentukan katarak
9)
Perubahan
kulit, khususnya pada tungkai dan kaki akibat kerusakan sirkulasi perifer,
kemungkinan kondisi kulit kronis seperti selulitis atau luka yang tidak kunjung
sembuh, turgor kulit buruk dan membran mukosa kering akibat dehidrasi
10)
Penurunan
nadi perifer, kulit dingin, penurunan reflek, dan kemungkinan nyeri perifer
atau kebas
11)
Hipotensi
ortostatik (Jaime Stockslager L dan Liz
Schaeffer,2007)
b.
Tanda dan gejala non spesifik DM
Tipe II, antara lain:
1)
Peningkatan angka infeksi akibat
peningkatan konsentrasi glukosa diskresi mukus, gangguan fungsi imun dan penurunan aliran
darah
2)
Gangguan penglihatan yang berhubungan dengan keseimbangan
air atau pada kasus yang berat terjadi kerusakan retina
3)
Paretesia atau abnormalitas sensasi
4)
Kandidiasis vagina ( infeks ragi ), akibat peningkatan
kadar glukosa disekret vagina dan urine, serta gangguan
fungsi imun . kandidiasis dapat menyebabkan rasa gatal dan kadas di vagina
5)
Pelisutan otot dapat terjadi kerena protein otot digunakan
untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh
6)
Efek
Somogyi: Efek somogyi merupakan komplikasi akut yang ditandai penurunan unik
kadar glukosa darah di malam hari, kemudian di pagi hari kadar glukosa kembali
meningkat diikuti peningkatan rebound pada paginya. Penyebab hipoglikemia malam
hari kemungkinan besar berkaitan dengan penyuntikan insulin di sore harinya.
Hipoglikemia itu sendiri kemudian menyebabkan peningkatan glukagon,
katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan. Hormon ini menstimulasi
glukoneogenesis sehingga pada pagi harinya terjadi hiperglikemia. Pengobatan
untuk efek somogyi ditujukan untuk memanipulasi penyuntikan insulin sore hari
sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan hipoglikemia. Intervensi diet juga
dapat mengurangi efek somogyi. Efek somogyi banyak dijumpai pada anak-anak.
7)
Fenomena
fajar ( dawn phenomenon) adalah hiperglikemia pada pagi hari ( antara jam 5 dan
9 pagi) yang tampaknya disebabkan oleh peningkatan sirkadian kadar glukosa di
pada pagi hari. Fenomena ini dapat dijumpai pada pengidap diabetes Tipe I atau
Tipe II. Hormone-hormon yang memperlihatkan variasi sirkadian pada pagi hari
adalah kortisol dan hormon pertumbuhan, dimana dan keduanya merangsang
glukoneogenesis. Pada pengidap diabetes Tipe II, juga dapat terjadi di pagi
hari, baik sebagai variasi sirkadian normal maupun atau sebagai respons
terhadap hormone pertumbuhan atau kortisol. (Elizabeth J Corwin, 2009)
2.6
Patofisiologi
DM Tipe II
Patogenesis
diabetes melitus Tipe II ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer,
gangguan “hepatic glucose production (HGP)”, dan penurunan fungsi cell β, yang
akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β. Mula-mula timbul resistensi
insulin yang kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin untuk
mengkompensasi retensi insulin itu agar kadar glukosa darah tetap normal. Lama
kelamaan sel beta tidak akan sanggup lagi mengkompensasi retensi insulin hingga
kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta makin menurun saat itulah
diagnosis diabetes ditegakkan. Ternyata penurunan fungsi sel beta itu
berlangsung secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi
mengsekresi insulin.( FKUI,2011 )
Individu yang
mengidap DM Tipe II tetap mengahasilkan insulin. Akan tetapi jarang terjadi
keterlambatan awal dalam sekresi dan penurunan jumlah total insulin yang di
lepaskan. Hal ini mendorong semakin parah kondisi seiring dengan bertambah usia
pasien. Selain itu, sel-sel tubuh terutama sel otot dan adiposa memperlihatkan
resitensi terhadap insulin yang bersirkulasi dalam darah. Akibatnya pembawa
glukosa (transporter glukosa glut-4) yang ada disel tidak adekuat. Karena sel
kekurangan glukosa, hati memulai proses glukoneogenesis, yang selanjutnya makin
meningkatkan kadar glukosa darah serta mestimulasai penguraian simpanan
trigliserida, protein, dan glikogen untuk mengahasilkan sumber bahan bakar
alternative, sehingga meningkatkan zat- zat ini didalam darah. Hanya sel-sel
otak dan sel darah merah yang terus menggunakan glukosa sebagai sumber energy
yang efektif . Karena masih terdapa insulin , individu dengan DM Tipe II jarang mengandalkan asam lemak untuk
menghasilkan energi dan tidak rentang terhadap ketosis. (Elizabeth J Corwin,
2009)
2.7
Pathway
DM Tipe II
Terlampir
2.8
Komplikasi
DM Tipe II
Beberapa
komplikasi yang dapat muncul akibat DM Tipe II, antara lain:
a.
Hipoglikemia
Komplikasi
yang mungkin terjadi pada penderita diabetes yang di obati dengan insulin atau
obat-obatan antidiabetik oral. Hal ini mungkin di sebabkan oleh pemberian
insulin yang berlebihan, asupan kalori yang tidak adekuat, konsumsi alkohol,
atau olahraga yang berlebihan. Gejala hipoglikemi pada lansia dapat berkisar
dari ringan sampai berat dan tidak disadari sampai kondisinya mengancam jiwa.
b.
Ketoasidosis
diabetic
Kondisi
yang ditandai dengan hiperglikemia berat, merupakan kondisi yang mengancam
jiwa. Ketoasidosis diabetik biasanya terjadi pada lansia dengan diabetes Tipe
1, tetapi kadang kala dapat terjadi pada individu yang menderita diabetes Tipe
2 yang mengalami stress fisik dan emosional yang ekstrim.
c.
Sindrom
nonketotik hiperglikemi, hiperosmolar (Hyperosomolar hyperglycemic syndrome,
HHNS) atau koma hiperosmolar
Komplikasi
metabolik akut yang paling umum terlihat pada pasien yang menderita diabetes.
Sebagai suatu kedaruratan medis, HHNS di tandai dengan hiperglikemia
berat(kadar glukosa darah di atas 800 mg/dl), hiperosmolaritas (di atas 280
mOSm/L), dan dehidrasi berat akibat deuresis osmotic. Tanda gejala mencakup
kejang dan hemiparasis (yang sering kali keliru diagnosis menjadi cidera
serebrovaskular) dan kerusakan pada tingkat kesadaran (biasanya koma atau
hampir koma).
d.
Neuropati
perifer
Biasanya
terjadi di tangan dan kaki serta dapat menyebabkan kebas atau nyeri dan
kemungkinan lesi kulit. Neuropati otonom juga bermanifestasi dalam berbagai
cara, yang mencakup gastroparesis (keterlambatan pengosongan lambung yang menyebabkan perasaan mual dan
penuh setelah makan), diare noktural, impotensi, dan hipotensi ortostatik.
e.
Penyakit
kardiovaskuler
Pasien
lansia yang menderita diabetes memiliki insidens hipertensi 10 kali lipat dari
yang di temukan pada lansia yang tidak menderita diabetes. Hasil ini lebih
meningkatkan resiko iskemik sementara dan penyakit serebrovaskular, penyakit
arteri koroner dan infark miokard, aterosklerosis serebral, terjadinya
retinopati dan neuropati progresif, kerusakan kognitif, serta depresi sistem
saraf pusat.
f.
Infeksi
kulit
Hiperglikemia
merusak resistansi lansia terhadap infeksi karena kandungan glukosa epidermis
dan urine mendorong pertumbuhan bakteri. Hal ini membuat lansia rentan terhadap
infeksi kulit dan saluran kemih serta vaginitis. (Jaime Stockslager L dan Liz
Schaeffer, 2007)
2.9
Pemeriksaan
Penunjang DM Tipe II
Pemeriksaan
penunjang DM Tipe II antara lain:
a.
Pemeriksaan
Kadar Glukosa Darah
Kadar
glukosa dapat diukur dari sample berupa darah biasa atau plasma. Pemeriksaan
kadar glukosa darah lebih akurat karena bersifat langsung dan dapat mendeteksi
kondisi hiperglikemia dan hipoglikemia. Pemeriksaan kadar glukosa darah
menggunakan glukometer lebih baik daripada kasat mata karena informasi yang
diberikan lebih objektif kuantitatif. (FKUI,2011)
b.
Pemeriksaan
Kadar Glukosa Urine
Pemeriksaan
kadar glukosa urin menggambarkan kadar glukosa darah secara tidak langsung dan
tergantung pada ambang batas rangsang ginjal yang bagi kebanyakan orang sekitar
180 mg/dl. Pemeriksaan ini tidak memberikan informasi tentang kadar glukosa
darah tersebut, sehingga tak dapat membedakan normoglikemia atau hipoglikemia.
(FKUI, 2011)
c.
Kadar
Glukosa Serum Puasa dan Pemeriksaan Toleransi Glukosa
Memberikan diagnosis definitif diabetes. Akan
tetapi, pada lansia, pemeriksaan glukosa serum postprandial 2 jam dan
pemeriksaan toleransi glukosa oral lebih membantu menegakan diagnosis karena
lansia mungkin memiliki kadar glukosa puasa hampir normal tetapi mengalami
hiperglikemia berkepanjangan setelah makan. Diagnosis biasanya dibuat setelah
satu dari tiga kriteria berikut ini terpenuhi:
1)
Konsentrasi
glukosa plasma acak 200 mg/dl atau lebih tinggi.
2)
Konsentrasi
glukosa darah puasa 126 mg/dl atau lebih tinggi.
3)
Kadar
glukosa darah puasa setelah asupan glukosa per oral 200 mg/dl atau lebih.
(Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
d.
Pemeriksaan
Hemoglobin Terglikosilasi (hemoglobin A atau HbA1c)
Menggambarkan kadar rata-rata glukosa serum
dalam 3 bulan sebelumnya, biasanya dilakukan untuk memantau keefektifan terapi
antidiabetik. Pemeriksaan ini sangat berguna, tetapi peningkatan hasil telah
ditemukan pada lansia dengan toleransi glukosa normal. (Jaime Stockslager L dan
Liz Schaeffer, 2007)
e.
Fruktosamina
serum
Menggambarkan
kadar glukosa serum rata-rata selama 2 sampai 3 minggu sebelumnya, merupakan
indicator yang lebih baik pada lansia karena kurang menimbulkan kesalahan.
Sayangnya pemeriksaan ini tidak stabil sehingga jarang dilakukan. Namun
pemeriksaan ini dapat bermanfaat pada keadaan dimana pengukuran AIC tidak dapat
dipercaya, misalnya pada keadaan anemia hemolitik. (Jaime Stockslager L dan Liz
Schaeffer, 2007)
f.
Pemeriksaan
keton urine
Kadar
glukosa darah yang terlalu tinggi dan kurang hormone insulin menyebabkan tubuh
menggunakan lemak sebagai sumber energy. Keton urin dapat diperiksa dengan
menggunkan reaksi kolorimetrik antara benda keton dan nitroprusid yang
menghasilkan warna ungu. (FKUI,2011)
g.
Pemeriksaan
Hiperglikemia Kronik (Test AIC)
Pada
penyandang DM, glikosilasi hemoglobin meningkat secara proporsional dengan
kadar rata-rata glukosa darah selama 8-10 minggu terakhir. Bila kadar glukosa
darah dalam keadaan normal antara 70-140 mg/dl selama 8-10 minggu terakhir,
maka test AIC akan menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan AIC dipengaruhi oleh
anemia berat, kehamilan, gagal ginjal dan hemoglobinnopati. Pengukuran AIC
dilakukan minimal 4bulan sekali dalam setahun. (FKUI, 2011)
h.
Pemantauan
Kadar Glukosa Sendiri (PKGS)
PKGS
memberikan informasi kepada penyandang DM mengenai kendali glikemik dari hai
kehari sehingga memungkinkan klien melakukan penyesuaian diet dan pengobatan
terutama saat sakit, latihan jasmani dan aktivitas lain. PKGS memberikan feedback cepat kepada pasien terhadap
kadar glukosa setiap hari. (FKUI,2011)
i.
Pemantauan
Glukosa Berkesinambungan (PGB)
Merupakan
metode sample glukosa cairan intestinal ( yang berhubungan dengan glukosa
darah) telah banyak digunakan untuk mengetahui kendali glikemik. Caranya adalah
menggunakan sistem mikrodialisis yang dinsersi secara subkutan, konsentrasi
glukosa kemudian diukur dengan detector elektroda oksidasi glukosa. Sensor
glukosa pada PGB memiliki alaram untuk mendeteksi kondisi hipoglikemi dan
hiperglikemi. (FKUI)
2.10 Penatalaksanaan
DM Tipe II
a.
Penatalaksanaan
Medis
Sarana
pengelolaan farmakologis diabetes dapat berupa:
1)
Obat
Hipoglikemik Oral
a)
Pemicu
sekresi insulin
(1)
Sulfonilurea
Golongan
obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pankreas untuk melepaskan insulin
yang tersimpan. Efek ekstra pankreas yaitu memperbaiki sensitivitas insulin
ada, tapi tidak penting karena ternyata obat ini tidak bermanfaat pada pasien
insulinopenik. Mekanisme kerja golongan obat ini antara lain:
(a) Menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan ( Stored insulin)
(b) Menurunkan ambang sekresi insulin
(c) Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa
(FKUI, 2011)
(2)
Glinid
Glinid
merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea, dengan meningkatkan
sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivate asam
benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati.(FKUI, 2011)
b)
Penambah
sensitivitas terhadap insulin
(1)
Biguanid
Saat
ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah metformin. Etformin menurunkan
glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap insulin pada tingkat selular, distal
dari reseptor insulin serta juga pada efeknya menurunkan produksi glukosa hati.
Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan
glukosa darah dan menghambat absorbsi glukosa dari usus pada keadaan sesudah
makan. (FKUI, 2011)
(2)
Tiazolidindion
Tiazolidindion
adalah golongan obat yang mempunyai efek farmakologis meningkatkan sesitivitas
insulin. Golongan obat ini bekerja meningkatkan glukosa disposal pada sel dan
mengurangi produksi glukosa dihati.( FKUI, 2011)
c)
Penghambat
glukosidase alfa
Obat
ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa dalam
saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan
hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak
menyebabakan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.(FKUI,
2011)
d)
Incretin
mimetic, penghambat DPP-4
Obat
ini bekerja merangsang sekresi insulin dan penekanan terhadap sekresi glukagon
dapat menjadi lama, dengan hasil kadar glukosa dapat diturunkan. (FKUI, 2011)
2)
Insulin
Insulin adalah suatu hormone yang diproduksi oleh sel beta dari
pulau Langerhanss kelenjar pankreas. Insulin dibentuk dari proinsulin yang bila
kemudian distimulasi, terutama oleh peningkatan kadar glukosa darah akan
terbelah untuk menghasilkan insulin dan peptide penghubung (C-peptide)yang
masuk kedalam aliran darah dalam jumlah ekuimolar.
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM Tipe II akan
memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Pada DM Tipe II
tertentu akan butuh insulin bila:
a)
Terapi
jenis lain tida dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa darah
b)
Keadaan
stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark miocard
akut atau stroke.
Pengaruh insulin tehadap jaringan tubuh antara lain insulin
menstimulasi pemasukan asam amino ke dalam sel dan kemudian meningkatkan
sintesa protein. Insulin meningkatkan penyimpanan lemak dan mencegah penggunaan
lemak sebagai bahan energi. Insulin menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel
untuk di gunakan sebagai sumber energi dan membantu penyimpanan glikogen di
dalam sel otot dan hati.(FKUI,2011)
b.
Penatalaksanaan
Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada kasus DM Tipe II antara lain:
1)
Memberikan
penyuluhan tentang keadaaan penyakit, symptom, hasil yang ditemukan dan
alternative tindakan yang akan diambil pada pasien maupun keluarga pasien.
2)
Memberikan
motivasi pada klien dan keluarga agar dapat memanfaatkan potensi atau sumber
yang ada guna menyembuhkan anggota keluarga yang sakit dan menyelesaikan
masalah penyakit diabetes dan resikonya.
3)
Konseling
untuk hidup sehat yang juga dimengerti keluarga dalam pengobatan dan pencegahan
resiko komplikasi lebih lanjut
4)
Memberikan
penyuluhan untuk perawatan diri, budaya bersih, menghindari alkohol,
penggunaaan waktu luang yang positif untuk kesehatan, menghilangkan stress
dalam rutinitas kehidupan atau pekerjaan, pola makan yang baik
5)
Memotivasi
penanggung jawab keluarga untuk memperhatikan keluhan dan meluangkan waktu bagi
anggota keluarga yang terkena DM atau yang memiliki resiko
6)
Mengawasi
diit klien DM Tipe II, bila perlu berikan jadwal latihan jasmani atau kebugaran
yang sesuai.
c.
Penatalaksanaan
Diet
Tujuan umum terapi gizi adalah membantu orang dengan diabetes
memperbaiki kebiasaan gizi dan olahraga untuk mendapatakan control metabolic
yang lebih baik, dan beberapa tambahan tujuan khusus yaitu:
1)
Mempertahankan
kadar glukosa darah mendekati normal dengan keseimbangan asupan makanan dengan
insulin(endogen/eksogen) atau obat hipoglikemik oral dan tingkat aktifitas
2)
Mencapai
kadar serum lipid yang optimal.
3)
Memberikan
energy yang cukup untuk mencapai atau mempertahankan berat badan yang memadai
pada orang dewasa mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang normal pada anak
dan remaja, untuk peningkatan kebutuhan metabolic selama kehamilan dan laktasi
atau penyambuhan dari penyakit metabolic
4)
Dapat
mempertahankan berat badan yang memadai
5)
Menghindari
dan menangani komplikasi akut orang dengan diabetes yang menggunakan insulin
seperti hipoglikemia, penyakit jangka pendek, komplikasi kronik diabetes
seperti penyakit ginjal, hipertensi, neuropati autonomic dan penyakit jantung
6)
Meningkatkan
kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal.
Kebutuhan zat gizi penderita DM Tipe II
1)
Protein
Menurut
consensus pengelolaan diabetes di Indonesia tahun 2006, Kebutuhan protein untuk
penyandang diabetes sebesar 10-20%
energi dari protein total.
2)
Total
lemak
Asupan
lemak di anjurkan <7% energy dari lemak jenuh dan tidak lebih 10% energy
dari lemak titk jenuh ganda, sedangkan selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal. Anjuran asupan lemak di Indonesia adalah 20-25% energi.
3)
Lemak
jenuh dan kolesterol
Tujuan
utama pengurangan konsumsi lemak jenuh dan kolesterol adalah untuk menurunkan
resiko penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu <7% asupan energy sehari
seharusnya dari lemak jenuh dan asupan kolesterol makanan tidak lebih dari
300mg per hari.
4)
Karbohidrat
dan pemanis
Anjuran
konsumsi karbohidrat untuk penderita diabetes di Indonesia adalah 45-65%
energy.
a)
Sukrosa
Bukti
ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan sukrosa bagian dari perencanaan makan tidak
memperburuk control glukosa darah pada individu dengan diabetes.
b)
Pemanis
Fruktosa
menaikkan glikosa plasma lebih kecil daripada sukrosa dan kebanyakan karbohidrat
jenis tepung-tepungan. Sakarin, aspartame, acesulfame K adalah pemanis tak
bergizi yang dapat di terima sebagai pemanis pada semua penderita DM.
5)
Serat
Rekomendasi
asupan serat untuk orang dengan diabetessama dengan untuk orang yang tidak
diabetes yaitu dianjurkan mengkonnsumsi 20-35 gr serat makanan dari berbagai
sumber makanan. Di Indonesia anjurannya adalah kira-kira 25gr /1000 kalori
perhari dengan mengutamakan serat larut
6)
Natrium
Asupan
untuk orang diabetes sama dengan orang biasa yaitu tidak lebih dari 3000 mg,
sedangkan bagi penderita hipertensi ringan sampai sedang di anjurkan 2400 mg
natrium perhari.
7)
Alkohol
Asupan
kalori dari alkohol di perhitungkan sebagai bagian dari asupan kalori total dan
sebagai penukar lemak ( 1 minuman alkohol = 2 penukar lemak)
8)
Mikronutrien:
vitamin dan mineral
Apabila
asupan gizi cukup, biasanya tidak perlu menambah suplemen vitamin dan mineral.
Walaupun ada alasan teoritis untuk memberikan suplemen antioksidan pada saat
ini hanya sedikit bukti yang menunjang bahwa terapi tersebut menguntungkan.(
FKUI, 2011 )
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1
Pengkajian Keperawatan
1.
Identitas
pasien
2.
Identitas
penanggung jawab pasien
3.
Keuhan
utama
4.
Riwayat
kesehatan keluarga
Adakah
keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
5.
Riwayat
kesehatan pasien dan pengobatan sebelumnya
Berapa lama klien menderita DM, bagaimana
penanganannya,mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya
apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi
penyakitnya.
6.
Pemeriksaan Fisik
1.
Aktivitas
/ istirahat
Gejala :
- Lemah, letih, sulit bergerak / berjalan
-
Kram
otot, tonus otot menurun, gangguan tidur
Tanda : -
Takikardia dan takipnea pada keadaan isitrahat atau dengan
aktivitas
-
Letargi
/ disorientasi, koma
-
Penurunan
kekuatan otot
2.
Sirkulasi
Gejala :
- Adanya riwayat hipertensi
-
Klaudikasi,
kebas dan kesemutan pada ekstremitas
-
Ulkus
pada kaki, penyembuhan yang lama
Tanda : -
Takikardia
-
Perubahan
tekanan darah postural, hipertensi
-
Nadi
yang menurun / tidak ada
-
Disritmia
-
Krekels
-
Kulit
panas, kering, kemerahan, bola mata cekung
3.
Integritas
Ego
Gejala :
- Stress, tergantung pada orang lain
-
Masalah
finansial yang berhubungan dengan kondisi
Tanda : -
Ansietas, peka rangsang
4.
Eliminasi
Gejala :
- Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia
-
Rasa
nyeri / terbakar, kesulitan berkemih (infeksi)
-
Nyeri
tekan abdomen
-
Diare
Tanda : -
Urine encer, pucat, kuning : poliuri
5.
Makanan
/ cairan
Gejala
: - Hilang nafsu makan
-
Mual
/ muntah
-
Tidak
mengikuti diet : peningkatan masukan glukosa / karbohidrat.
-
Penurunan
BB lebih dari periode beberapa hari / minggu
-
Haus
-
Penggunaan
diuretic (tiazid)
Tanda
: - Disorientasi : mengantuk, letargi,
stupor / koma (tahap lanjut). Ganguan memori (baru, masa lalu) kacau mental.
6.
Nyeri
/ kenyamanan
Gejala :
- Abdomen yang tegang / nyeri (sedang/berat)
Tanda : -
Wajah meringis dengan palpitasi; tampak sangat berhati-hati
7.
Pernafasan
Gejala :
- Merasa kekurangan oksigen : batuk dengan / tanpa sputum
purulen (tergantung ada tidaknya infeksi)
Tanda
: - Lapar udara
-
Batuk,
dengan / tanpa sputum purulen (infeksi)
-
Frekuensi
pernafasan
8.
Keamanan
Gejala
: - Kulit kering, gatal; ulkus kulit
Tanda
: - Demam, diaphoresis
-
Kulit
rusak, lesi / ilserasi
-
Menurunnya
kekuatan umum / rentang gerak
3.2. Diagnosa Keperawatan
1.
Nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh b/d penurunan masukan oral, mual, anoreksia, peningkatan
metabolisme protein dan lemak
2.
Devisit volume cairan
dean elektrolit b/d diuresis osmotic
3.
Intoleransi aktivitas
b/d penurunan simpanan energi
4.
Gangguan integritas
kulit b/d gangren
5.
Gangguan citra diri b/d
ekstremitas gangren
6.
Resiko injuri b/d
gangguan penglihatan
3.3. Intervensi Keperawatan
1.
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d penurunan masukan oral, mual,
anoreksia, peningkatan metabolisme protein dan lemak
Tujuan
:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria
hasil : Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien
yang tepat, BB stabil, nilai lab normal
Intervensi :
a.
Timbang berat badan tiap hari atau sesuai dengan indikasi
Rasional
: Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat
b.
Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang
dapat dihabiskan pasien
Rasional
: Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan
terapeutik
c.
Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrient) dan elektrolit
dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui pemberian cairan
melalui oral
Rasional
: Pemberian makanan melalui oral lebih baik jika pasien sadar dan
fungsi gastroisntetinal baik
d.
Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti glukosa darah, aseton, pH, dan HCO3
Rasional
: Gula darah akan menurun perlahan dengan penggantian cairan dan
terapi insulin terkontrol.
e.
Kolaborasi dengan ahli diet
Rasional
: Sangat bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuaian diet
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien
2.
Devisit volume cairan dan elektorlit b/d diuresis osmotic
Tujuan
:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil : Pasien menunjukkan hidrasi
yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba,
turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu
dan kadar elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
a.
Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD orotstatik
Rasional
: Hipovelemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan
takikardia.
b.
Ukur berat badan setiap hari
Rasional
: Memberikan hasil pengkajian yang terbaik di status cairan
yang sedang berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
c.
Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
Rasional
: Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi atau volume sirkulasi
yang adekuat
d.
Pantau pemeriksaan lab seperti : Hematoksit (Ht), BUN (kreatinin) dan
Osmulalitas darah, Natrium, kalium
Rasional
:
- Ht : Mengkaji
tingkat hidrasi dan sering kali meningkat akibat homokonsentrasi yang terjadi
setelah dieresis osmotik
- BUN : Peningkatan nilai dapat mencerminkan kerusakan
sel karena dehidrasi atau tanda awitan kegagalan ginbjal.
- Osmolalitas darah : Meningkat sehubungan dengan adanya
hiperglikemia dan dehidrasi
- Natrium
: Mungkin menurun yang dapat mencerminkan perpindahan cairan dari
intra sel (dieresis osmotik)
- Kalium
: Awalnya akan terjadi hiperkalemia dalam breepons pada asodisis
3.
Intoleransi aktivitas b.d penurunan simpanan energi
Tujuan
:
Pada pasien tidak terjadi kelelahan dengan penurunan produksi
energi
Kriteria hasil
: - Mengungkapkan peningkatan tingkat energy
-
Menunjukkan
perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan
Intervensi :
1.
Diskusi
dengan pasien kebutuhan akan aktivitas. Membuat jadwal perencanaan dengan
pasien dan identifikasi aktivitas yang menimbulkan kelelahan.
Rasional
: Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan
tingkat aktivitas meskipun pasien mungkin sangat lemah.
2.
Beri
aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup / tanpa diganggu.
Rasional
: Mencegah kelelahan yang berlebihan.
3.
Pantau
nadi, frekuensi pernafasan dan TD sebelum / sesudah melakukan aktivitas.
Rasional
: Mengidentifikasi tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi
secara fisiologi.
4.
Mendiskusikan
cara menghemat kalori selama mandi, berpindah tempat.
Rasional
: Pasien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan dengan
penurunan kegiatan akan pada energi pada setiap kegiatan.
5.
Tingkatkan
partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan yang
dapat ditoleransi.
Rasional
: Meningkatkan kepercayan diri / harga diri positif sesuai
tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi pasien.
4.
Gangguan integritas kulit b/d gangren
Tujuan
:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
integritas kulit dapat membaik.
Kriteria hasil
: - Mempertahankan integritas kulit
- Mendemonstrasikan
perilaku / teknik mencegah kerusakan kulit.
Intervensi :
1.
Lihat
kulit, area sirkulasinya terganggu / pigmentasi atau kegemukan / kurus
Rasional
: Kulit beresiko karena gangguan sirkulasinya perifer,
imobilitas fisik dan gangguan status nutrisi.
2.
Dapatkan
kultur dari drainase luka saat masuk
Rasional
: Mengidentifikasi pathogen dan terapi pilihan
3.
Rendam
kaki dalam air steril pada suhu kamar dengan larutan betadine tiga kali sehari
selama 15 menit
Rasional
: Germisidal lokal efektif untuk luka permukaan
4.
Balut
luka dengan kasa kering steril. Gunakan plester kertas
Rasional
: Menjaga kebersihan luka / meminimalkan kontaminasi
silang. Plester adesif dapat membuat abrasi terhadap jaringan mudah rusak.
5.
Berikan
dikloksasi 500 mg per oral setiap 6 jam, mulai jam 10 malam amati tanda-tanda
hipersensitivitas, seperti : pruritus, urtikaria, ruam
Rasional
: Pengobatan infeksi / pencegahan komplikasi. Makanan yang
mengganggu absorbsi obat memerlukan penjadwalan sekitar jam makan. Meskipun
tidak ada riwayat reaksi penicilin tetapi dapat terjadi kapan saja.
5.
Gangguan citra diri b/d ekstremitas gangren
Tujuan
:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam pasien
dapat menerima keadaannya yang sekarang.
Kriteria hasil
: - Pasien menerima keadaannya yang sekarang
- Menunjukkan
pandangan yang realistis dan pemahaman diri dalam situasi.
Intervensi :
1.
Dengarkan
dengan aktif masalah dan ketakutan pasien
Rasional
: Menyampaikan perhatian dan dapat lebih efektif
mengidentifikasi kebutuhan dan masalah dan juga strategi koping pasien dan
seberapa efektif.
2.
Dorong
pengungkapan perasaan, penerima apa yang dikatakannya
Rasional
: Membantu pasien / orang terdekat untuk memulai menerima
perubahan dan mengurangi ansietas mengenai perubahan fungsi atau gaya hidup.
3.
Diskusikan
pandangan klien terhadap citra diri dan efek yang ditimbulkan dari penyakit
Rasional
: Persepsi pasien mengenai pada perubahan citra diri
mungkin terjadi secara tiba-tiba atau kemudian atau menjadi proses halus yang
secara terus menerus.
4.
Bantu
pasien atau orang terdekat dengan menjelaskan hal-hal yang diharapkan dan
hal-hal tersebut mungkin diperkukan untuk dilepaskan atau diubah.
Rasional
: Memberi kesempatan untuk mengidentifikasi kesalahan
konsep dan mulai melihat pilihan-pilihan, meningkatkan orientasi realita.
5.
Rujuk
pada dukungan psikiatri atau group terapi, pelayanan sosial sesuai petunjuk
Rasional
: Mungkin dibutuhkan untuk membantu pasien / orang terdekat
untuk mencapai kesembuhan optimal.
6.
Resiko injuri b/d gangguan penglihatan
Tujuan
:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
tidak terjadi injuri pada pasien
Kriteria hasil
: - Mengidentifikasi faktor-faktor resiko
injuri
- Memodifikasi
lingkungan sesuai petunjuk untuk meningkatkan keamanan dan penggunaan
sumber-sumber secara tepat.
Intervensi :
1.
Hindarkan
alat-alat yang dapat menghalangi aktivitas pasien
Rasional
: Untuk meminimalisir terjadinya cedera
2.
Gunakan
bed yang rendah
Rasional
: Meminimalkan resiko cedera
3.
Orientasikan
untuk pemakaian alat bantu penglihatan ex. Kacamata
Rasional
: Membantu dalam penglihatan klien
4.
Bantu
pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi
Rasional
: Agar tidak terjadi injuri
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Diabetes Mellitus Tipe II adalah keadaan dimana kadar glukosa
tinggi, kadar insulin tinggi atau normal namun kualitasnya kurang baik,
sehingga gagal membawa glukosa masuk dalam sel, akibatnya terjadi gangguan
transport glukosa yang dijadikan sebagai bahan bakar metabolisme energi.
Penyebab DM Tipe II antara lain: penurunan fungsi cell b pankreas dan retensi insulin.
Faktor-faktor resiko yang dapat terkena DM Tipe II antara lain:
usia ≥ 45 tahun, usia lebih muda, terutama dengan indeks massa tubuh (IMT)
>23 kg/m2 yang disertai dengan kebiasaan tidak aktif; turunan
pertama dari orang tua dengan DM; riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi
>4000 gram, atau riwayat DM gestasional; hipertensi (≥140/90 mmHg);
kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dl; menderita polycyctic ovarial syndrome(PCOS) atau
keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin; adanya riwayat
toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT) sebelumnya; memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, obesitas terutama
yang bersifat sentral (bentuk apel), diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat,
kurang gerak badan, genetic dan stress.
Tanda gejala DM Tipe II antara lain: penurunan penglihatan, poliuri polidipsia, rasa lelah dan
kelemahan otot, polifagia, konfusi atau derajat delirium, konstipasi atau kembung pada
abdomen, retinopati atau pembentukan katarak, perubahan kulit, penurunan nadi
perifer, kulit dingin, penurunan reflek, dan kemungkinan nyeri perifer atau
kebas, hipotensi ortostatik , peningkatan angka infeksi akibat
peningkatan konsentrasi glukosa diskresi mukus, gangguan fungsi imun dan penurunan aliran
darah , paretesia atau abnormalitas sensasi, kandidiasis vagina, pelisutan otot, efek somogyi dan fenomena fajar.
Komplikasi yang dapat muncul antara lain: hipoglikemia, ketoasidosis
diabetic, sindrom nonketotik hiperglikemi, hiperosmolar (Hyperosomolar
hyperglycemic syndrome, HHNS) atau koma hiperosmolar, neuropati perifer,
penyakit kardiovaskuler dan infeksi kulit.
4.2
Saran
Dari
pembahasan diatas penulis memiliki beberapa saran diantaranya:
a.
Biasakan
diri untuk hidup sehat.
b.
Biasakan
diri berolahraga secara teratur.
c.
Hindari
makanan siap saji dengan kandungan karbohidrat dan lemak tinggi.
d.
Konsumsi
sayuran dan buah-buahan.
e.
Hindari
pemakaian alkohol dan konsumsi makanan yang terlalu manis.
4.3
Kata
Penutup
Alhamdulillah
makalah ini dapat terselesaikan dengan baik tanpa ada hambatan yang berarti.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka
penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca
demi kesempurnaan makalah ini. Hanya kepada Allah penulis berharap semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.